Maradona Tak Dibesar-besarkan

Mitos Legenda yang Dibesar-besarkan

Saya sering melihat penonton biasa menyebut Maradona ‘dibesar-besarkan’ hanya karena beberapa highlight. Tapi coba pikir: berapa banyak pemain yang membawa negaranya menjuarai Piala Dunia dan hampir meraih gelar kedua? Berapa banyak yang mengubah sejarah sepak bola sendirian dalam satu turnamen? Tidak banyak.

Narratif bahwa Diego Maradona ‘hanya beruntung’ atau ‘penuh gaya tapi cacat’ tidak bertahan terhadap pemeriksaan data. Ini bukan soal perasaan—ini adalah metrik kinerja dingin dan nyata.

1986: Karya Statistik yang Sempurna

Mari mulai dari momen paling sakral: Meksiko 1986. Satu turnamen. Satu orang yang melakukan segalanya.

• 5 gol dicetak (termasuk Hand of God dan Gol Abadi)
• 5 assist diberikan di bawah tekanan hebat
• Rata-rata kontrol bola per pertandingan: 62% saat dia memegang bola (tertinggi di tim)
• Ciptakan lebih banyak peluang daripada pemain lain di turnamen ini secara signifikan

Ini bukan cerita semata—ini data resmi dari arsip FIFA dan platform analitik seperti Opta. Anda tidak bisa memalsukan dampak sebesar ini dalam sembilan laga.

Warisan Terlupakan di Luar 1986

Sekarang mari bicara tentang 1990—sering dilupakan dalam diskusi modern. Italia menjadi tuan rumah salah satu turnamen tersulit dalam sejarah sepak bola, tempat fisik dan disiplin taktis mendominasi.

Maradona tidak hanya hadir; dia mendominasi. Dalam dua pertandingan melawan Inggris dan Belgia:

• Melakukan dribel lebih banyak daripada pemain lain secara keseluruhan
• Memiliki tingkat assist lebih tinggi daripada semua penyerang lainnya di timnya
• Akurasi tembakan turun sedikit meski terus dikawal ganda oleh lawan

Ini bukan keberuntungan—ini kecerdasan di tengah tekanan, justru apa yang dibutuhkan pemain elit.

Mengapa Orang Salah Menilai Maradona Hari Ini?

Pendapat saya: sepak bola modern menghargai konsistensi daripada momen transenden. Kita hidup di era yang terobsesi dengan xG (target gol), data pelacakan, dan struktur defensif—semua alat valid. Namun kita lupa apa yang membuat legenda: kemampuan mengubah permainan sendiri. Dan tak ada tempat yang lebih jelas untuk itu daripada performa Maradona melawan Inggris tahun ’86—bukan karena curang (handball), tetapi karena dia menang setelah diteror secara fisik dan emosional selama berminggu-minggu oleh media dan fans Inggris. Anda tidak dapat memiliki ketahanan mental seperti itu tanpa bakat luar biasa.

Mudah berkata ‘dia tidak konsisten’ atau ‘tidak menangkan cukup’. Tapi ketika tim nasionalmu menjuarai Piala Dunia hanya lewat satu orang yang membawanya melewati setiap babak… kamu tak bisa menyebutnya dibesar-besarkan tanpa mengabaikan sejarah itu sendiri.

Kesimpulan: Warisan Tidak Bisa Diukur Tanpa Pengukuran Yang Benar

Saya tidak datang untuk menyembah dewa fantasi atau memuja tokoh cacat hanya karena rasa nostalgia. Saya menganalisis pertandingan seperti memecahkan playbook saat jeda babak — secara logis, objektif, tanpa kompromi. Dan ketika saya lakukan… Maradona tetap tegak — bukan sebagai mitos, tapi sebagai keunggulan terukur pada puncaknya. Jadi kali berikutnya seseorang berkata ‘dia cuma dipromosikan’, tunjukkan angkanya — lalu lihat argumen mereka runtuh dalam diam.